Selasa, 23 Agustus 2011

Inilah Faktanya Tips Beasiswa Ala Chusnul Mariyah

Berikut tips-tips mendapatkan beasiswa ala Chusnul Mar’iyah:
Menjemput Beasiswa
Dari beberapa diskusi ada beberapa pertanyaan tentang beasiswa. Saya ingin membagi pengalaman menjemput beasiswa. Paling tidak sejak SPG (Sekolah Pendidikan Guru) sampai mengambil pendidikan Ph.D saya selalu mendapatkan beasiswa.
1. Pada saat SPG (setingkat SMA) saya menerima beasiswa selama 2 tahun terakhir. Kualifikasi mudah sekali selama kita bisa menunjukkan ranking 1 sampai 3, kita mendapatkan beasiswa. Ada juga scheme beasiswa untuk orang miskin.
2. Pada saat pendidikan Sarjana di FISIP UI, saya menerima beasiswa dari Diknas sejak tingkat 2, setelah tentu saja kita menunjukkan prestasi akademik.
3. Pada saat saya menjadi anggota Senat Mahasiswa FISIP UI, dengan Ketua Senat sdr. Imam Prasodjo, kebetulan saya memegang posisi ketua bidang pendidikan. Saya baru melihat ada ketidakadilan dalam proses transparansi beasiswa. Saya memiliki teman yang kaya-raya mendapatkan beasiswa dari Toyota Foundations yang sebulannya mendapatkan 50 ribu rupiah (bandingkan dengan beasiswa dari Diknas yang 9 ribu rupiah saja).
Biaya tinggal di Wismarini (asrama UI) hanya 3 (tiga) ribu rupiah. Saya langsung protes ke PD III, agar beasiswa harus diumumkan jauh hari ke mahasiswa. Akhirnya saya dapat pindah beasiswa ke Toyota Foundation.
Maka saya sangat kaya saat menjadi mahasiswa waktu itu. Penguasa, termasuk di universitas, biasanya tidak memberikan informasi jauh hari kepada mahasiswa. seringkali tinggal beberapa hari, sehingga kita tidak dapat mengurus beasiswa tersebut karena sudah ditutup.
4. Pada saat yang sama saat di SM FISIP UI, saya juga menjadi Sekretaris Komisariat HMI FISIP UI. Saya melihat bahwa banyak anggota HMI ternyata miskin-miskin. Bersamaan dengan program SM FISIP UI, saya yang miskin dan sudah dapat beasiswa, saya panggil orang-orang miskin tsb dan membuat strategi untuk mendapatkan beasiswa. Belajar diperbaiki, kualifikasi akademik diperbaiki. Alhamdulillah kita yang miskin-miskin akhirnya menjadi pinter-pinter dan mendapatkan beasiswa.
5. Pada saat selesai kuliah saya ingin ke luar negeri. Posisi Sekretaris Jurusan Ilmu Politik FISIP UI saya manfaatkan untuk membangun relasi dengan berbagai lembaga beasiswa. Saat itu juga saya memiliki teman anak Menteri Pendidikan. Saya bilang bahwa saya membutuhkan beasiswa. Dia mau bantu, tapi saya menolaknya. Saya katakan kalau 3 kali saya menjemput beasiswa dan gagal barulah saya akan meminta katabelece dari teman yang anak Menteri Pendidikan tsb.
6. saya mendapatkan beasiswa dari Australia Indonesia Institute untuk mengambil MPhil Houners Degree di Sydney University. AII ini sebetulnya tidak tertarik untuk memberikan program beasiswa yang lama (2 tahun).
Program AII menurut saya hanya untuk mendapatkan nama di media sehingga programnya lebih berupa short visit, seperti memberi beasiswa kepada Christine Hakim, Gunawan Muhammad dkk mereka. Alhamdulillah saya mendapatkan beasiswa tersebut selama 2 tahun dan itu satu-satunya program AII sampai saat ini.
7. Saya menyadari kebencian saya terhadap bahasa Inggris, karena dari SPG Lamongan, kuliah di FISIP UI, teman-teman saya kalau dilihat tempat lahirnya, London, Washington, Manila, Maroko, Amsterdam. Nah, sebagai orang ndeso Babat tembak langsung ke Jakarta, sebel juga saya dengan Bahasa Inggris, walau di mata kuliah Bahasa Inggris tetap mendapat angka 8 (delapan). Sangat disadari bahasa inggris yang pas-pasan tersebut.
Alhamdulillah saya lumayan IELTS nya. Setelah 5 bulan benar-benar konsentrasi belajar bahasa Inggris, meninggalkan aktivitas LSM dan lain-2nya. Untuk dapat masuk di Sydney University paling tidak harus 7,5 IELTS yang harus didapatkan. Saya termasuk yang tidak mendapatkan 7,5, saya lupa mungkin hanya 6,5 IELTS tapi tetap dapat masuk di Sydney University (the first university in Australia).
8. Satu tahun di program Department of Government (Politics), saya ditawari untuk upgrade ke Ph.D Program yang kebetulan ketua Departemen-nya Prof. Michael Leigh adalah ahli Asia Tenggara (Malaysia) istrinya ahli Aceh. Saya tinggal dengan keluarga tersebut. Supervisor saya tidak mengerti Indonesia, karenanya saya menulis tentang Urban Politics in Australia. Secara administrasi saya tidak mendapatkan surat dari Dikti. Saya sudah menunggu setiap hari selama 2 minggu tapi Dikti tidak memberikannya. Saya bilang ya sudah, langsung ke Kedutaan Australia, saya katakan masalah saya, dan langsung dibuatkan surat. Saya mendapatkan tambahan 5 tahun beasiswa dari AUSAID. Saya tidak memiliki degree Master tapi langsung mendapatkan Ph.D walau pada awalnya bahasa inggris pas-pasan.
9. bagaimana dapat terus-menerus berhasil mendapatkan beasiswa?
Disambung di tulisan ke dua.
Melbourne, 13 April 2008
Wassalam,
Chusnul Mar’iyah
www.chusnulmariyah.or.id
Bagian 2
Menjemput beasiswa (2): Informasi beasiswa tidak merata
1. Sebagai Ketua Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI 2000-2003, saya mencoba untuk secara afirmatif membantu mahasiswa untuk mendapatkan beasiswa dengan mencarikan melalui kerjasama maupun mencarikan informasi dari lembaga-lembaga beasiswa yang ada. Alhamdulillah, pada periode saya menjadi Ketua Program Pascasarjana, banyak mahasiswa yang mendapatkan
beasiswa. Kalau tidak bisa memperoleh beasiswa, saya punya program mahasiswa dapat hutang ke Program Pascasarjana dan kemudian membayarnya secara bertahap. Kalau tidak bisa membayar, saya memberikan pekerjaan di Program Pascarasjana supaya hutangnya bisa dilunasi.
2. Beasiswa dari USAID, saya melihatnya sangat elitist. Tapi saya belum pernah mencoba. Pertama, yang mendapatkan beasiswa adalah mereka yang memiliki bahasa inggris sangat bagus. Tidak ada program untuk training Bahasa Inggris, sepengetahuan saya. Mungkin saya salah. Itu info yang dahulu kala saya akan coba. Kedua, koneksi menjadi sangat penting,
sirkulasi elit sangat penting (sirkulasinya elit terbatas). Silahkan dari teman-teman yang telah mendapatkan beasiswa dari USAID dapat share.
Saya sendiri setelah selesai mendapat Ph.D baru mendapatkan beasiswa ke Amerika Serikat untuk short course program yang 3 bulanan tentang Federalism and Scholarly Aproaches pada tahun 1997. Pada waktu itu di kantor USAID di washington saya katakan perlunya untuk memperluas target beasiswa agar merata untuk Indonesia dari Merauke sampai Sabang.
3. Beasiswa ke Inggris, koneksi menjadi penting, selain Bhs Inggris juga penting. Saya membantu beberapa asisten dosen saya baik yang bahasa Inggrisnya pas-pasan maupun yang sudah bagus untuk dapat beasiswa ke Inggris. Alhamdulillah sebagian besar lolos.
4. Beasiswa ke Australia, memiliki model target yang lebih jelas, 50% untuk perempuan, Bhs Inggris so so, karena Australia memiliki program untuk memberikan training bhs Inggris sampai 5 bulan di Indonesia. Bahkan masih dapat ditambah 8 minggu Bridging Course di Australia. Konteks dari Indonesia Timur dan Aceh (sekarang banyak sekali beasiswa untuk Aceh baik ke Australia maupun ke Amerika). Walaupun akhirnya bukan orang Aceh yang mendapatkannya.
Koneksi atau rekomendasi dari dosen di Australia menjadi sangat penting untuk keberhasilan beasiswa tersebut. Bagaimana caranya, tulis email saja langsung dengan professor atau dosen di perguruan tinggi Australia yang topiknya mirip dengan studi yang akan diambil. Kemampuan untuk membuat proposal yang akan dinilai. Apakah topiknya seksi atau tidak?
Contoh, akan mudah mendapatkan beasiswa kalau anda mengambil topik tentang politik Papua, Timor Timur atau Aceh. Ada kawan saya yang mengambil topik pemikiran politik berkali-kali tidak pernah bisa lolos. Dengan peta politik isu terorisme menjadi isu primadona untuk penerima beasiswa. Apalagi sekarang, baik AUSAID maupun USAID kelihatannya sangat senang untuk memberikan beasiswa dari IAIN atau kelompok Islam. Anda yang dari HMI dapat menggunakan kesempatan ini. Di Australia, sebagian besar yang ambil Master dan Ph.D Ilmu Politik berlatar-belakang dari IAIN.
5. Makanya dalam Miriam Budiardjo Lecture yang diselenggarakan oleh IAIPI di LIPI bulan lalu, saya dalam lecture tersebut mengatakan bahwa profesi Ilmu Politik sudah diambil alih oleh IAIN, bahkan anggota KPU diketuai oleh Doktor dari IAIN (dari dua prof di KPU, satu IAIN satunya lagi pertanian). Mudah-2an 3 lulusan IAIN di KPU tersebut Iqra terlebih dahulu.
Bagi anda yang lulusan IAIN sekarang sedang seksi sekali karena Islam dianggap sumber “teroris” so, mereka akan memberikan beasiswa untuk topik-2 politik Islam. Itu analisa saya. There is no such thing like free lunch. Beasiswa juga demikian. Penerima beasiswa harus percaya diri, jangan kemudian lupa kepada akar dan bangsanya sendiri.
6. Saya pernah menjadi bagian untuk menentukan beasiswa dari Belanda.
Sayangnya saya harus berhenti karena mereka menganggap saya koruptor di KPU. Anyway, Belanda juga memiliki program untuk kelompok Islam dari Ambon, tapi tidak banyak informasi tersebut yang sampai ke kelompok Islam. Menurut mereka, mereka menyadari memberikan beasiswa hanya kepada kelompok Kristen tidak menjawab persoalan konflik Islam-Kristen di Ambon. Belanda melalui Studenet-nya cukup banyak memiliki beasiswa untuk program-program pendek yang dapat dirancang sendiri. Walaupun ke Belanda juga harus tetap memiliki bahasa inggris minimal.
7. Dari berbagai Negara, Perancis, Jepang, Jerman, negara Skandinavia (seperti Swedia, Norwegia, Denmark, Finlandia), keberhasilan studi di negara-negara yang bukan berbahasa inggris adalah kemampuan kita untuk secara cepat belajar bahasa setempat. Seperti di Jepang, kalau kita belajar social sciences, perpustakaan yang ada dalam bahasa Jepang semua. Tentu saja mereka juga punya bahasa inggris. Kecuali bagi mereka yang belajar science dan technology. Demikian pula di Jerman, adik saya yang katanya sebelum berangkat dikatakan 50% akan menggunakan bahasa inggris, pada prakteknya 75% bahasa Jerman. Silahkan teman-teman yang lulusan dari negara tersebut berbagi pengalamannya. saya sendiri pernah ke Jepang ke Hosei University hanya untuk program pendek saja.
8. Dari negara-negara Timur Tengah, saya tidak terlalu tahu, kecuali saya pernah berbicara dengan kedutaan Iran untuk memberikan beasiswa untuk mempelajari politik Iran. Sayang belum sempat saya lanjutkan pembicaraan tersebut.
9. Beasiswa dari lembaga-lembaga dalam negeri, dulu ada OTO Bapenas (loan sifatnya, tapi negara yang membayar). Saya pernah untuk beberapa tahun terlibat untuk menentukan beasiswa dari Ford Foundation. OSI (Open Society Institute) juga memberikan beasiswa untuk Master ke Budapest (Central European University) dsb.
10. Masih ingat beasiswa BPPT dari sejak Lulus SMA? itu sifatnya hutang atau loan. Negara memang yang membayar bukan penerima beasiswa. Ke mana lulusannya? Menurut saya mustinya lulusan beasiswa tersebut harus dapat melakukan kerja dengan disebar ke kabupaten/kota, dan negara memberi insentif dan program untuk teknologi terapan. Bisa anda bayangkan para insinyur lulusan luar negeri membangun teknologi di kabupaten/kota di Indonesia? Dengan demikian kabupaten/kota se Indonesia akan berkembang.
Daripada di kantor BPPT dan di Bandung (perusahaan pesawat terbang yang selalu demo terus-menerus). Tidak tahu bagaimana pemerintah menyelesaikan masalah tersebut? Kenapa tidak ditawarkan ke daerah-daerah saja? Kasihan Pak Habibie terpaksa harus mencarikan kerja bagi mereka di Jerman, Perancis atau Belanda? Padahal mereka dibayar oleh uang rakyat Indonesia, bukan?
Salam,
Chusnul Mar’iyah
www.chusnulmariyah.or.id
Bagian 3 (terakhir)
Sukses mendapatkan beasiswa dan sukses studinya
1. Untuk sukses studi terdapat berbagai factor, di antaranya dapat memilih topik yang sedang diminati oleh kebijakan dari negara pemberi beasiswa. Hal tersebut terutama untuk social sciences. Apa yang sedang diminati dan membuat topik yang sesuai dengan yang diminati serta sesuai dengan minat kita. Paling tidak harus ada kompromi. Menulis proposal harus pula jelas dan tajam. Jangan malu-malu bertanya.
2. Bahasa Inggris, menjadi hambatan untuk kita yang biasanya dari daerah-2. Nah, kita perlu belajar dengan rajin mendengarkan berita dalam bahasa Inggris, misalnya. Juga harus ada keinginan yang besar dan niat yang kuat untuk bisa bahasa Inggris. Saya yakin kita semua bisa. Apalagi yang memiliki kemampuan multi bahasa, ada bahasa Jawa, bahasa Indonesia, bahasa Arab, atau bhs lainnya. Belajar bahasa Inggris tidak sulit.
3. Saya sendiri berangkat dengan bahasa Inggris pas-pasan. Bahkan ada professor serta teman mengatakan, kamu berani sekali mengambil Ph.D dengan bahasa Inggris pas-pasan. Well .. jangan takut, EGP saya dapat beasiswa kok. Asal anda mau belajar, semua menjadi mudah. Saya punya strategi sendiri. Setelah di Australia, saya tidak tinggal dengan orang Indonesia, ya kalau orang Indonesia numpang beberapa waktu di tempat saya iya juga, tapi tidak lama. Tidak terlalu banyak bermain dengan orang Indonesia.
Maaf, walau sering dianggap sombong, wah ya biarkan saja. Ini mau belajar, bahasa Inggris yang pas-pasan itu, kalau dengan
orang Indonesia ya bahasa Inggrisnya tidak maju-maju. Termasuk saya dapat memaksa para ahli Indonesia tidak berbicara bahasa Indonesia dengan saya.
Masuk di kelas malam sebelumnya harus banyak membaca supaya besoknya mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh dosennya. Harus ada minat yang kuat dan mempraktekkan bahasa tsb. Jangan takut salah. Bisa dihitung satu dua saja orang asing yang menulis tesis dalam bahasa Indonesia, kita menulis tesis dalam bahasa Inggris. Jadi masih lebih bagus kan? Percaya diri harus bisa bahasa Inggris. Tapi jangan sok pinter. Intinya belajar, belajar, dan belajar, baca, baca dan baca.
Bangun pagi alarmnya, news dalam bahasa Inggris. Paling tidak membutuhkan 6 bulan proses tersebut. Setelah 6 bulan, alhamdulillah membaca buku, artikel, berteman dengan orang Indonesia dan bicara Bhs Indonesia, sudah tidak takut bahasa inggrisnya hilang. Bahkan pada semester 3 saya sudah ditawari untuk menjadi tutor mata kuliah South East Asian Politics di Sydney University (selama lima tahun) yang memiliki mahasiswa sampai 70 orang, artinya sampai memiliki 5 kelas tutorial. Nah, terpaksa harus berbicara bahasa Inggris kan? Gramar salah tidak usah takut, tapi tetap harus belajar.
4. Menulis disertasi atau tesis itu sendirian, lama dan lonely, makanya memang harus memilih topik yang menarik. Menulis disertasi di luar negeri harus mengubah budaya di Indonesia. Mahasiswa kebiasaannya hanya menulis pada satu tahun terakhir. Di luar negeri, kalau bisa sejak berada di negeri tersebut imannya harus kuat, topik jangan berubah-ubah namun boleh terus-menerus dipertajam, menulis langsung dalam bahasa inggris, jangan bahasa Indonesia terus diterjemahkan. Jangan menggunakan kamus Inggris-Indonesia, tapi gunakan kamus Inggris-Inggris. Hal tersebut akan membantu anda dalam menulis dan memahami. Cintailah bahasa inggris tersebut supaya lebih cepat dapat mengerti.
5. Rekomendasi menjadi penting. Contoh, kenapa dari kelompok pemuda NU sekarang banyak yang sekolah ke luar negeri dibandingkan pemuda Muhamadiyah? Kelompok laki-lakinya tentu lebih banyak dari perempuan? Kelompok Kristen lebih banyak dibanding Muslim (secara prosentase)?
Sekarang IAIN mendapatkan prioritas diterima. Kesemuanya itu adalah berhubungan dengan rekomendasi, baik dari Indonesia maupun dari team dari negara pemberi beasiswa. Saya yakin kelompok HMI memiliki akses rekomendasi di seluruh dunia. Di sini penting bagaimana rekomendasi tersebut dapat menarik atau dapat “menjual diri” dengan baik.
Saya dahulu karena rekomendasi dari Prof. Richard Chauvel, bahkan beliau sampai mencarikan siapa yang akan menjadi pembimbing saya. Prof. Richard Chauvel adalah dosen tamu yang mengajar politik Australia di UI selama 4 tahun. Pertemanan dengan beliau sudah banyak menghasilkan lulusan Australia.
6. Menurut saya para alumni harus membangun institusionalisasi beasiswa dengan membuat lembaga pemberi beasiswa, atau dapat berbicara dengan negara pemberi beasiswa. Oleh karena itu perlu dimulai pembentukan lembaga untuk mengumpulkan dana abadi untuk dapat memberi beasiswa. Saya agak risi kalau setiap awal semester harus meyakinkan kepada senior bahwa mahasiswa ini membutuhkan beasiswa untuk membayar uang SPP kalau tidak akan di DO.
7. Alumni yang ada di pemerintahan dapat pula bernegosiasi untuk membangun network dengan negara pemberi beasiswa. Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan2 selain diskusi-2 seperti biasanya. Contoh, Wakil Presiden dan para direktur-2nya. Katakan, kalau AUSAID memberi sampai 500 beasiswa, kenapa tidak Wakil Presiden meminta 10 saja dengan menentukan scheme sendiri. Untuk Australia bisa ada scheme ADS, ALA, APS, Alison Sudrajat, atau yang langsung dengan universitas yang bersangkutan. Ada beasiswa lengkap dengan biaya hidup, ada yang hanya tuition fee. Demikian pula dengan beasiswa dari berbagai departemen seperti Departemen Keuangan yang sangat kaya itu. Mustinya semua departemen melakukannya. Kenapa jadinya Departemen Pendidikan bingung menghabiskan dana 20% APBN? Saat ini Departemen Pendidikan sedang memberikan beasiswa yang sangat banyak bagi model Sandwich program 1 tahun di luar negeri untuk S3 atau S2 juga? Lembaga dapat memberikan fasilitas untuk informasi tersebut.
8. Sebagai Ketua Program Pascasarjana Politik FISIP UI pada tahun 2000-2003 dulu, saya seringkali dikeluhkesahi oleh mahasiswa yang tidak dapat uang dari senior-seniornya. Saya berfikir kenapa senior lebih suka memberi uang kepada mahasiswa sekali-kali, dibandingkan kepada lembaga yang memberikan beasiswa tersebut? Mungkin senior akan dapat membangun
konstituen atau klik atau apa saja dengan memberikan uang kepada mahasiswa tersebut, semacam balas budi? Kenapa tidak dilakukan institusionalisasi untuk dapat memberikan beasiswa dengan visi dan misinya? Tentu saja tidak dilarang tetap memberikan zakat berupa beasiswa kepada mahasiswa tertentu.
9. Beasiswa untuk program jangka pendek sangat banyak sekali. Silahkan rajin-rajin mengikuti program pendek tersebut. Bahkan saat ini setelah selesai dengan KPU, saya mendapatkan ALA Research Fellowship di Victoria University, Melbourne. Karena seorang kolega saya (lagi-lagi Prof. Richard Chauvel) sangat prihatin dengan kondisi saya di KPU pasca pemilu
2004. Beliau dengan Prof. Michael Meigh dan Dr. Barbara Leigh mencarikan jalan untuk dapat mengundang saya ke Australia, untuk disuruh membaca, menulis dan memberi kuliah. Mereka sangat menghargai pengalaman politik kita, walau saya berfikir kok bangsa sendiri malah seringnya hanya menghujat dan meremehkan ya? Itu namanya nasib dan takdir barangkali ya?
10. Semua beasiswa dari negara-negara maju dapat diakses melalui internet. Silahkan cek saja melalui Google, anda akan mendapatkan informasi beasiswa apapun. Jangan terlambat. Saya yakin banyak orang yang memiliki pengalaman yang sama dalam hal ini dapat share pengalamannya.
Bagi mereka yang ingin mendapatkan beasiswa dan sekedar bertanya dengan senang hati dapat langsung beremail kepada saya. Selamat untuk menjemput beasiswa dan selamat belajar.
Salam,
Chusnul Mar’iyah
www.chusnulmariyah.or.id
———————–
———————–
Dari tulisan beliau setidaknya ada beberapa point penting yang harus dimiliki oleh Anda yang berniat meraih beasiswa, diantaranya:
Biasanya Anda akan diminta untuk membuat sebuah tulisan, ambillah topik yang menarik (seksi) sehingga lembaga beasiswa akan tertarik meminang Anda
Belajar, belajar, dan belajar bahasa Inggris. Ini syarat penting. Anda akan mendapati sejumlah kesulitan jika Anda tidak menguasai bahasa Inggris. Disamping nilai indeks prestasi kumulatif (IPK) kemampuan berbahasa Inggris mutlak diperlukan
Banyak sekali beasiswa jangka pendek, mungkin Anda bisa mencobanya
Cari informasi sebanyak-banyaknya melalui internet. Bergabung dengan milis infobeasiswa dan mengikuti berita beasiswa terbaru di situs beasiswa membantu Anda agar tidak ketinggalan info beasiswa
Berusaha dan berdoa, Semoga Anda dapat meriah beasiswa yang terbaik

Masukkan Email Anda Untuk Berlangganan Artikel @kodokkampus:

Delivered by FeedBurner

Postingan Terkait